Thursday 27 December 2012

cagar budaya yang ada di kudus


1.      Museum Kretek
Lokasi : Jl. Getas Pejaten No.155 desa Getas Pejaten Kec. Jati
Pendiri : Soepardjo Roestam
Tanggal berdiri : 3 Oktober 1986
Sejarah :
Museum kretek sendiri dibangun oleh gubener Jateng pada tahun 1985. Museum kretek didirikan bertujuan untuk menunjukan bahwa kretek berkembang sangat pesat di tanah jawa khususnya di kota kudus. Di museum ini diperkenalkan mulai dari sejarah tentang kretek hingga proses produksi rokok kretek, mulai dari pembuatan secara manual sampai menggunakan teknologi modern. Di sana juga bisa ditemukan siapa saja tokoh-tokoh yang berperan besar dalam memajukan bisnis rokok di Indonesia.
2.      Masjid At-Taqwa atau Masjid wali
Lokasi : Loram Kulon. Jati. Kudus
Pendiri : Sultan Hadirin atau Raden Toyep
Tanggal atau tahun berdiri : 1596 - 1597
Sejarah :
                Masjid ini merupakan sisa peninggalan sejarah hindu budha pada masa penyebaran islam di Kudus. Terdapat gapura yang arsitekturnya seperti gapura yang sering kita lihat di Bali. Masjid dan gapura ini dibuat seperti tempat ibadah agama hindu budha karena dulunya masyaratkat sekitar lebih berkepercayaan hindu budha.
                Masjid At-Taqwa dibangun oleh Sultan Hadirin yang berasal dari Aceh. Sultan Hadirin adalah seorang perantau. Suatu ketika Sultan Hadirin merantau ke Cina dan bertemu dengan Ciriguan seorang tokoh agama, patih, dan sekaligus seorang penasehat yang waktu itu sudah beragama islam. Ciriguan mengangakat Sultan Hadirin sebagai anak angkatnya dan akhirnya untuk beberapa tahun Sultan Hadirin tinggal di Cina, setelah beberapa lama Sultan Hadirin rindu akan daerah kelahirannya di Aceh maka Sultan Hadirin memutuskan untuk kembali ke Aceh.
                Kembalinya di Aceh Sultan Hadirin kembali merantau kembali, Sultan Hadirin berlabuh di Jepara, Kerajaan Demak. Sultan Hadirin tinggal beberapa di Jepara dan akhirnya menikah dengan Ratu Kalinyamat yang terkenal kecantikannya dan sebagai adik dari Raja Demak pada masa itu. Sultan Hadirin menjadi Raja Jepara. Dalam hubungan pernikahannya dengan Ratu Kalinyamat tidak dikaruniai seorang anak. Sultan Hadirin mengangkat seorang putri anak dari Banten desa Mantingan. Dari seorang putri itulah sultah lebih dikenal dengan Sultah Mantingan, Jepara.
                Suatu hari Ciriguan rindu akan anak angkatnya Sultan Hadirin maka Ciriguan mencari tau dimana Sultan Hadirin tinggal dan mendapat kabar kalau Sultan Hadirin tinggal di Jepara sebagai Raja Jepara. Ciriguan pun segera menyusul Sultan Hadirin di Jepara guna melepas kerinduannya dengan anak angkatnya itu. Ciriguan merupakan seorang pemahat di Cina dan saat tiba di Jepara dia sering memahat dan dia mempunyai sebutan Sungging Badarduwong yang artinya pemahat.
                Sultan Hadirin datang ke Kudus guna menuntut ilmu dengan Sunan Kudus. Sunan Kudus mengetahui jika Sultan Hadirin adalah perantau dan memiliki ilmu yang banyak atau sakti. Sultan Hadirin dijodohkan dengan purtinya dan menjadi menantu dari Sunan Kudus. Sunan Kudus menyuruh Sultan Hadirin untuk ikut menyebarkan agama islam di kota Kudus ini. Sultan Hadirin menyebarkan di desa Loram yang saat itu masih beragama hindu budha maka Sultan Hadirin membangun masjid di desa Loram dengan mengajak ayah angkatnya untuk ikut membangun. Ciriguan yang mendesain gapura dan Sultan Hadirin mendesai bagian atas masjid atau Mustokoh.
                Suatu hari Sunan Kudus bertanya kepada Kyai Telingsing, Sultan Hadirin, dan Ciriguan untuk memberikan buah tangan apa untuk Kerajaan Mataram yang ingin berkunjung ke kediaman Sunan Kudus. Ciriguan mengusulkan memberikan kendi yang kosong tetapi bagian dalam alas kendi telah di pahat kaligrafi arab oleh Ciriguan dengan kalimat Toyiban, Kyai Telingsing tidak setuju karena dikiranya kendi itu kendi kosong maka Ciriguan menyuruh Kyai Telinggsing untuk memecah kendi itu dan Kyai Telingsing kaget jika di dalam kendi itu ada pahatan kaligrafinya.
                Tradisi masyarakat setempat setiap akan punya kerja (hajat) pasti mengadakan manganan (slametan) terlebih dahulu di lokasi masjid dengan memberikan nasi kepel dan botok maksud dan tujuan agar hajat yang berlangsung terhindar dari segala bala dan malapetaka, mendapat rahmat dari Allah SWT. Pernah ada salah satu warga yang lupa tidak mengadakan tradisi, akibatnya akan ada bala petaka. Ada juga tradisi masyarakat setempat setiap setelah menikah harus memutari gapura yang ada di depan masjid yang desebut dengan kirab nganten.
3.      Makam Kyai Telingsing
Lokasi : Jln. Kyai Telingsing Gg. Kh. Noorhadi
Pendiri : -
Tanggal berdiri : -
Pengelola : Mbah Munawid
Sejarah :
                Sejarah tentang Kyai telingsing tidak banyak di tau oleh juru kunci sebab Kyai Telingsing berkehidupan sederhana. Ayah Kyai Telingsing berasal dari Arab yaitu Sunan Sungging dan ibunya berasal dari Cina.
Dari pernikahan itulah lahir The Ling Sing atau yang oleh masyarakat Kudus lebih dikenal dengan Telingsing. Pada saat Telingsing menginjak remaja, ayahnya berwasiat. Kalau kamu ingin hidup mulia dunia akhirat, ikutlah jejakkku berdakwah Islam.
Ayahnya pun menganjurkan agar ia pergi ke Nusantara, tepatnya di kota Kudus. Pada saat itu, masyarakat Kudus masih banyak yang beragama Hindu atau Budha. Kebetulan, pada saat berdakwah, Telingsing bertemu dengan kanjeng Sunan Kudus. Akhirnya, mereka pun berdakwah bersama-sama.
Suatu ketika, Sunan Kudus hendak menerima kunjungan dari orang Tiongkok. Oleh Sunan Kudus, Kiai Telingsing diminta menyunggging (mengukir) sebuah kendi sebagai cinderamata yang akan diberikan kepada tamunya, namun tidak dilakukan oleh Kiai Telingsing. Sunan Kudus pun tidak berkenan dan membanting kendi tersebut.
Pada saat kendi tersebut pecah, keanehan terjadi. Pada pecahan kendi itu, terdapat ukiran dua kalimat syahadat yang teramat indah. Sungging (ukiran) tersebut pun membuat Sunan Kudus terpesona. Konon, dari kata Nyunggingan itu pula Desa Sunggingan lahir.
4.      Makam Sunan Kaliyetno
Lokasi : Jln. Suna Kaliyetno, Desa Ternadi
Pendiri : -
Tanggal atau tahun berdiri : -
Pengelola : Bpk. Sukat
Sejarah :
Adapun nama Sunan Kaliyetno, menurut bapak Sukat Mansur adalah nama yang diambil dari bahasa jawa. Kali itu berarti Sungai, sedangkan Yet itu berarti Lumut dan no berarti tidak ada. Jadi Kaliyetno berarti Sungai yang tidak ada lumutnya. “kali ikuw kali, yet ikuw lumut, lan no maksute odak ono. Dadi kaliyetno ikuw kaline odak ono lumute” terangnya. Karena menurut keterangan Pak Sukat (panggilan akrab Bapak Sukat Mansur) yang diperoleh dari sesepuh desa ternadi yang telah gugur, bahwa dulu ketika Sunan Kalijaga bersemedi menjaga pusaka titipan dari Kandjeng Sunan Bonang itu tidak ada satupun lumut yang ada di Sungai depan semedinya beliau.
                Sunan Bonang / Makdum Ibrahim, tidak mangilen dumugi alas peteng desa jenu Tuban, dipun cegat kalian brandal luko wijaya bade begal / ngrampok Sunan Bonang, lajeng tongkat nipun dipun tunjuk wonten wit jati lajeng dados arupi emas, saking mriku brandal luko wijaya ngegadahi kepingin ngeguru kalian Sunan Bonang.
                Lajeng punika salah satunggalipun panggalihipun brandal luko wijaya saget anut apa ingkang dawuhipun Sunan Bonang. Kecatet wonten sejarah lelampahipun spiritual tiyang jawi. Lajeng dipun wedal wejang lelampahipun topo / manunggaling ing kawula Gusti wonten tlatah maniko soko Tuban kurang luwehipun tigang taun (3th) lajeng nerusake lelampahipun tumindak mangilen ngantos dumigi mengaler kudus ngelampahi mati sakjeroning urip.
                Antawis topo ngluang wonten ternadi mriki tuparingan Asmo inggih pinika Raden Lokasari / Sunan Kaliyetno kurang luwehipun setunggal tahun (1th) langkong – langkong anggenipun cuwo penggalihipun mandap mangidol lelampah dumugi demak ngantos dados sesehipun Raden Fatah luweh satunggal ewu gangsal atus ngantos satunggal ewu gangsal wolulas (±1500 - ±1518) dipun kaparengan Asmo Sunan Kalijaga wonten tlatah Demak.

T.G.L 07 – 08 – 2011
JK. SUKAT MANSUR

5.      Makam Raden Ayu Nawangsih
Makan Raden Bagus Rinangku
Lokasi : Desa Kandangmas, Masin
Pendiri : Mbah Jamasri
Tanggal atau Tahun berdiri : 1961
Pengelola : Bpk. Suhardi (65th)
Sejarah :
                Sepasang kekasih itu Raden Ayu Nawangsih dan Raden Bagus Rinangku. Raden Ayu Nawangsih adalah putri dari Sunan Muria dan Raden Bagus Rinangku adalah putra dari Sultan Agung Mataram (Raja Mataram).
                Raden Bagus Rinangku pada saat itu belajar pada Sunan Muria. Raden Bagus Rinangku adalah salah seorang dari murid Sunan Muria yang terkenal paling cerdas, cakap juga tampan rupanya. Sepasang kekasih itu bahkan mereka telah saling berjanji akan mengarungi hidup bersama meskipun halangan dan rintangan datang menghadang.
Sunan Muria mengetahui hal ini dan bermaksud untuk menggagalkan maksud dari dua muda-mudi yang sedang kasmaran ini, karena Sunan Muria telah berjanji pada seorang muridnya yang bernama Kyai Cebolek untuk menjodohkan Raden Ayu Nawangsih dengan dirinya. Untuk melaksanakan rencana ini, Sunan Muria menyiapkan berbagai tugas berat untuk Raden Bagus Rinangku dengan harapan dia gagal melaksanakan tugas itu dan mengurungkan niatnya untuk bersatu dengan Raden Ayu Nawangsih karena dia merasa malu kepada Sunan Muria.
Salah satu rencana dari Sunan Muria adalah dengan memerintah Raden Bagus Rinangku untuk membasmi geromblan pengacau atau perusuh yang sering merampok dan merampas harta penduduk, dan bila Raden Bagus Rinangku maka dialah justru yang menjadi korban keganasan perusuh dan matilah Raden Bagus Rinangku. Namun perkiraan Sunan Muria meleset karena Raden Bagus Rinangku berhasil melaksanakan perintah bahkan telah menyadarkan salah seorang anggota perusuh untuk bertobat. Mengetahui rencananya gagal, Sunan Muria telah menyiapkan rencana yang lain.
Mengetahui rencananya gagal, Sunan Muria telah menyiapkan rencana yang lain. Tugas berat kedua yang diperintahkan Sunan Muria kepada Raden Bagus Rinangku adalah memerintahkan dia untuk menjaga burung (tunggu manuk) agar tidak memakan padi yang sudah menguning di sawah yang berada jauh dari Colo atau tepatnya di Dukuh Masin (sekarang Dukuh Masin masuk Desa Kandang Mas Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus).
Suatu hari Sunan Muria mengecek apakah Raden Bagus Rinangku telah melaksanakan tugasnya dengan baik, namun ternyata Raden Bagus Rinangku melalaikan tugasnya dengan membiarkan burung-burung bebas memakan padi yang sudah menguning dan yang lebih membuat Sunan Muria marah adalah karena Raden Bagus Rinangku tertangkap basah sedang memadu kasih dengan Raden Ayu Nawangsih.
Melihat hal ini Sunan Muria marah besar dan Raden Bagus Rinangku segera memohon maaf kepada Sunan Muria, dan berjanji sanggup mengembalikan padi-padi yang telah dimakan burung-burung tersebut pada keadaan semula. Dengan kesaktian dan ijin dari Tuhan, maka kembalilah padi-padi itu pada keadaan semula.
Sunan Muria semakin marah dengan apa yang dilakukan Raden Bagus Rinangku, karena telah memamerkan kesaktian yang dimilki kepada Gurunya. Karena merasa tersaingi, maka Sunan Muria menarik panahnya dan diarahkan ke Raden Bagus Rinangku dengan maksud untuk menakut-nakutinya, namun anak panah itu melesat dan menembus perut Raden Bagus Rinangku tembus sampai punggungnya, dan tewaslah Raden Bagus Rinangku. Melihat kejadian ini, Raden Ayu Nawangsih menagis meraung-raung dan segera menubruk tubuh Raden Bagus Rinangku yang tertelungkup di tanah. Anak panah yang menembus punggung Raden Bagus Rinangku itu menembus pula perut Raden Ayu Nawangsih, dan tewaslah Raden Ayu Nawangsih di hadapan Ayahnya. Jenazah kedua muda-mudi ini pun dimakamkan diatas sebuah bukit di mana keduanya memadu kasih.
                Kematian muda-mudi ini amat menggemparkan penduduk sekitar Masin. Para pelayat yang ikut mengantarkan jenazah kedua muda-mudi ini tertegun berdiri terpaku, keharuan mencekam mereka yang berduka ketika mendengarkan nasehat Sunan Muria. Setelah jenazah selesai dikuburkan, para pelayat masih meratapi nasib kedua muda-mudi itu, dan Sunan Muria berkata “ah bagaikan pohon jati saja engkau semua, berdiri terpaku tak bergerak dibukit”. Ketika itu pula semua pelayat berubah menjadi pohon jati.
                Konon kata masyarakat tidak ada yang boleh menebang pohon jati itu sebab akan keluar darahnnya, tetapi dalam kenyataannya tidak keluar darah tapi memang benar jika pohon jati itu tidak boleh ditebang sebab mereka dulunya manusia. Pada tahun 1961 pihak muria ingin membuat makam Sunan Muria dipagari menggunakan pohon jati yang ada di masin. Seseorang meminta pada juru kunci yang ada di sana tetapi juru kunci tidak berani memutuskan dan orang itu pun akhirnya pulang. Malam hari ketika orang itu tertidur dan bermimpi. Isi mimpi itu “ jika ingin memotong pohon jati yang ada di sekitar makam Raden Bagus dan Raden Ayu harus tatalennya (serbuk kayu saat dipotong) tidak boleh jatuh di tanah.” Maka ke esokan harinya orang itu tetap memotong jati itu dan ada satu tatalen jatuh di tanah maka pohon jati itu seketika menjadi tidak bisa dipotong. Bekas potongan kayu jati itu masih terdapat di sekitar makam dan sekarang semakin ltumbuh besar hingga saat ini.
6.      Gapura Pandurekasan
Lokasi : Desa Jepang Kec. Mejobo Kudus
Pendiri : Arya Panangsang
Tanggal berdiri : ± 15 Masehi
Pengelola : Aziz
Sejarah :
                Masjid ini dulunya di bangun Arya Panangsang dengan di saksikannya Sunan Kudus pada saat pembangunannya. Arya Panangsang membangun masjid ini dengan ini siatifnya sendiri karena Arya Panangsang melihat tempat sekitar yang masih berupa rawa dan hutan. Arsitektur masjid seperti masjid Agung Demak, tiap penyangga terdiri dari 4 soko dilandasi dengan umpak Batu. Benda kuno yang masih ada di masjid yaitu :Mihrab, mimbar untuk khotbah mustoko, sumur tombo/obat bagi masyaratakat yang sakit. Sumur tersebut tidak pernah asat(kering) walaupun musim kemarau.
7.      Masjid Baitul Azis
Lokasi : Desa Hadiwarno kec. Mejobo
Pendiri :
Tanggal berdiri : abat 16 M atau 863 Hijriah
Pengelola : Pengurus masjid
Sejarah :
                Masjid Baitul Azis dibangun pada abad 16 M zaman wali, terbuat dari batu bata merah kuno. Di dalam masjid terdapat Gapura Pandurekso, di tengah gapura ada pintu jati dan bagian atas pintu terdapat lambing naga / motif lambing naga yang mempunya arti naga adalah trisula naga dalam bahasa sansekerta artinya 863 hijriah dibaca dari belakang. Arsitektur masjid seperti masjid Agung Demak, tiap penyangga terdiri dari 4 soko dilandasi dengan umpak Batu. Benda kuno yang masih ada di masjid yaitu :
1.       Mihrab, mimbar untuk khotbah mustoko, sumur tombo/obat bagi masyaratakat yang sakit. Sumur tersebut tidak pernah asat(kering) walaupun musim kemarau.
2.       Mimbar untuk khotbah dibuat dari kayu jati dulunya diberi lilitan bengkung kain putih.
3.       Tembok samping kakan kiri pengimaman terbuat dari bata merah dengan ornament etnik yang indah.
4.       Mustoko yang asli dari tanah liat dan sudah diturunkan, karena kondisi rusak, saat ini benda yang terpasang adlaah mustoko duplikat namun usianya sudah lebih dari 50 tahun.
5.       Sumur tombo di Masjid Baitul Azis sering digunakan sebagai tombo (obat) masyarakat yang mengalami sakit. Pada musim kemarau atau panas sumur ini tidak pernah kering padahal sumur penduduk disekitar mengalami kekeringan (tidak ada airnya).
Tradisi masyarakat setempat setiap akan punya kerja (hajat) pasti mengadakan manganan (slametan) terlebih dahulu di lokasi masjid dengan memberikan nasi kepel dan botok maksud dan tujuan agar hajat yang berlangsung terhindar dari segala bala dan malapetaka, mendapat rahmat dari Allah SWT. Pernah ada salah satu warga yang lupa tidak mengadakan tradisi, akibatnya ada yang kesurupan. Akhirnya dimintakan maaf dan diberi minum air sumur tombo bisa sadar kembali.
8.      Kyai Dudo / Joko Samudra
Lokasi : Desa sumber
Pendiri : Kyai Dudo / Joko Samudra ( ahli nujum Syeh Subakri ) yang Berasal dari Arab
Tanggal atau Tahun berdiri : Zaman Sunan Muria
Pengelola : Ibu Darsih
Sejarah :
                Zaman dulu desa sumber adalah hutan belantara. Kyai Dudo membangun langgar bersama dua muritnya yang bernama umoro dan umari. Kyai Dudo beserta kedua muritnya hidup sebagai petani.
                Pada suatu hari pada saart bulan romadhon Kyai Dudo menyuruh para santrinya menanam padi saat selesai sholat tarawih karena pada saat siang hari panas Kyai Dudo takut jika murit –muritnya akan membatalkan puasanyya maka dari itu disuruhnya pada malam hari. Malam setelah sholat tarawih para muritnya langsung berhamburan pergi ke sawah untuk menanam padi, ketika itu juga Sunan Muria datang berkunjung ke diaman Kyai Dudo. Sunana Muria mendengar para murit yang sedang memvbersihkan pada yang suaranya terdengar seperti bulus.
Sunan Kudus berkata “sedang apa orang – orang itu kenapa malam – malam seperti ini berisik seperti  suara bulus saja” maka saat itu juga yang membersihkan padi tadi langsung menjadi bulus.
Kyai Duda memberanikan diri menanyakan nasibnya beserta para santri setelah Sunan Muria bermaksud meninggalkan mereka. Mendengar hal itu, Sunan kembali mengajak Mbah Duda melanjutkan perjalanan ke utara. Di tengah perjalanan, dia mengambil sebatang kayu adem ati (menyerupai batang pohon kluwak) dan menancapkannya di suatu tempat. Ketika batang kayu tersebut dicabut, keluarlah mata air yang kemudian dipercaya menjadi asal sungai Sumber.
Setelah itu, Sunan kembali bersabda dan memerintahkan kyai Duda beserta para santrinya untuk menjaga daerah tersebut dan menjanjikan bahwa akan ada orang yang memberi makan pada mereka, khususnya saat syawalan.
Di tempat ditancapkannya kayu adem ati yang oleh Sunan Muria yang kemudian dijaga oleh Mbah Duda dan para santrinya - yang berwujud bulus tersebut - tradisi bulusan dilaksanakan sampai hari ini.
Tradisi masyarakat setempat setiap akan punya kerja (hajat) pasti memberikan manganan kepada para bulus yang masih ada terlebih dahulu dengan memberikan nasi dan botok maksud dan tujuan agar hajat yang berlangsung terhindar dari segala bala dan malapetaka, mendapat rahmat dari Allah SWT. Pernah ada salah satu warga yang lupa tidak mengadakan tradisi, akibatnya ada yang sakit. Akhirnya dimintakan maaf dan memberika makan untuk bulus – bulus itu dan kembali sembuh seperti semula. Jika pada tanggal 8 sawal di desa sumber di adakan sewu kupat dan lepet guna memberika atau memperingati bulus – bulus itu.
9.      Situs Purbakala Pati Ayam
Lokasi :
Pendiri : Bpk. Rakijan Mustofa
Tanggal atau Tahun berdiri : 2005
Pengelola : alm. Bpk. Rakijan Mustofa dan sekarang pengelola ada 7 orang
Sejarah :
                Pada tahun 2005 warga menemukan bulung puto ( tulang yang sudah membatu ) didaerah bukit sumbit. Bpk. Rakijan Mustofa lah yang mengatakan pada warga bahwa itu adalah fosil makhluk purbakala. Fosil itu adalah fosil sejenis gajah.
                Bpk. Rakijan Mustofa mulai mengabari pihak arkeolok jogja dan mereka yang mengetahhui segera melakukan penelitian. Sampai sekarang dan setiap tahunnya selalu di temukan fosil – fosil purbakala.
                Ada salah satu penemu yang menemukan gigi hiu dan kerang – kerang yang ukurannya dua kali lebih besar dari yang kita ketahui saat ini. Karena fosil – fosil itu ditemukan di bukit sumbit dan berada di daeraj jekulo, pati maka diberi nama lah situs bukit pati ayam.
10. Masjid Madureksan
Lokasi :
Pendiri :
Tanggal atau Tahun berdiri : 1520 Masehi
Pengelola :
Sejarah :  
Masuknya agama islam di tanah jawa hingga kini masih masih menjadi pertanyaan yang terus bergulir. Kita hanya tau dari sejarah bahwa agama islam masuk ke indonesi melalu para pedagang dan ahli sufi dari Gujarat, India sebelah barat. Dari sejarah pula kita tahu bahwa tahun 1416 di pulau jawa sudah banyak orang islam, namun mereka itu merupakan pendatang dari manca Negara.
Dalam perkembangan pendiri masjid sebagai rumah peribadatan umat islam di Jawa Tenagh, khususnya di kabupaten kudus jelas berdasarkan inskripsi tertuliskan huruf arab terdapat diatas mihrab masjid Sunan Kudus yang di kenal dengan sebutan Masjid Al-Aqsha ( masjid menara ) yakni tahun 956 Hijriyah atau bertepatan dengan 1549 Masehi. Sementara masjid lain yang letaknya bersebrangan dengan Al – Aqsa yakni Masjid Madureksan diketahui berdiri tahun 1520 Masehi.
Menara Kudus sendiri berdiri di sebelah selatan Masjid Al – Aqsha berdasarkan candrasengkala yang ada di tempat itu berbunyi Gapura Rusak Ewahing Jagat (1609). Menurut penafsiran Prof. Dr. Soetjipto Wirjosuparto dalam buku kerya Solichin Salam “Kudus Purbakala” menara itu didiran pada 1685 Masehi. Dengan demikian ketiga bangunan dalam satu komplek yang usainya paling tua yakni Masjid Madureksan yang lokasinya berada di sebelah utara perpustakaan milik Pemkab Kudus.
Siasat Perang
                Menurut Baedlowi, salah seorang imam di Masjid Madureksan. Masjid ini usianya lebih tua disbanding Masjid Menara. Ada tokoh lain yang mewarnai keberadaan Masjid Madureksan saat itu kiai Tee Ling Sing. Usaha Cina yang turut berjuang menyebarkan Islam di Kudus ini menurut Baedlowi, selain untuk berdakwa, juga memanfaatkan Masjid Madureksan untuk mengatur siasat perang.
                Hal senada juga diungkapkan sejarawan asal Kudus. Tee Song Liang alias Toedjo Suljanto (77). Menurut fotografer senior yang mengaku masih memiliki garis keturunan ke 18 kiai Tee Ling Sing ini, di Masjid Madureksan ini pula sering dijadikan ajang untuk debat mendiskusikan persoalan yang menyangkut soal agama maupun siasat perang.
                Suatu saat, lanjut Om Te (panggilan akrab Tee Song Liang) dalam diskusi tersebutpernah terjadi silang pendapat antara sesame rekan Kiai Tee Ling Sing. Ditengah arena adu argument yang cenderung memanas itu Kiai Tee Ling Sing sering menjadi tokoh penengahnya. “Yen kowe pada padu, kowe ugo bisa ngrekso” (bila kamu saling silang pendapat, kamu juga harus bisa mengendalikan diri). Itulah sepenggal ucapan Kiai Tee Ling Sing kemudian diabadikan menjadi mana Masjid Madureksan.
                Nama Kiai Tee Ling Sing sendiri lebih dikenal sebagai da’I, beliau juga memiliki kepandaian yang dibawa dari cina yakni memahat aliran Sun Ging. Dari kepiawaiannya ini pula setelah ia wafat daerah sekitar tempat pemakamannya hingga sekarang diberi nama Desa Sunggingan.

No comments:

Post a Comment