1. Museum Kretek
Lokasi : Jl. Getas Pejaten No.155 desa Getas
Pejaten Kec. Jati
Pendiri : Soepardjo Roestam
Tanggal berdiri : 3 Oktober 1986
Sejarah :
Museum
kretek sendiri dibangun oleh gubener Jateng pada tahun 1985. Museum kretek
didirikan bertujuan untuk menunjukan bahwa kretek berkembang
sangat pesat di tanah
jawa
khususnya di kota kudus. Di museum ini diperkenalkan mulai dari sejarah tentang
kretek hingga proses produksi rokok kretek, mulai dari pembuatan secara manual
sampai menggunakan teknologi modern. Di
sana juga bisa ditemukan siapa saja tokoh-tokoh yang berperan besar dalam
memajukan bisnis rokok di
Indonesia.
2. Masjid
At-Taqwa atau Masjid wali
Lokasi : Loram Kulon. Jati. Kudus
Pendiri : Sultan Hadirin atau Raden Toyep
Tanggal atau tahun berdiri : 1596 - 1597
Sejarah :
Masjid
ini merupakan sisa peninggalan sejarah hindu budha pada masa penyebaran islam
di Kudus. Terdapat gapura yang arsitekturnya seperti gapura yang sering kita
lihat di Bali. Masjid dan gapura ini dibuat seperti tempat ibadah agama hindu
budha karena dulunya masyaratkat sekitar lebih berkepercayaan hindu budha.
Masjid
At-Taqwa dibangun oleh Sultan Hadirin yang berasal dari Aceh. Sultan Hadirin
adalah seorang perantau. Suatu ketika Sultan Hadirin merantau ke Cina dan
bertemu dengan Ciriguan seorang tokoh agama, patih, dan sekaligus seorang
penasehat yang waktu itu sudah beragama islam. Ciriguan mengangakat Sultan
Hadirin sebagai anak angkatnya dan akhirnya untuk beberapa tahun Sultan Hadirin
tinggal di Cina, setelah beberapa lama Sultan Hadirin rindu akan daerah
kelahirannya di Aceh maka Sultan Hadirin memutuskan untuk kembali ke Aceh.
Kembalinya
di Aceh Sultan Hadirin kembali merantau kembali, Sultan Hadirin berlabuh di
Jepara, Kerajaan Demak. Sultan Hadirin tinggal beberapa di Jepara dan akhirnya
menikah dengan Ratu Kalinyamat yang terkenal kecantikannya dan sebagai adik
dari Raja Demak pada masa itu. Sultan Hadirin menjadi Raja Jepara. Dalam
hubungan pernikahannya dengan Ratu Kalinyamat tidak dikaruniai seorang anak.
Sultan Hadirin mengangkat seorang putri anak dari Banten desa Mantingan. Dari
seorang putri itulah sultah lebih dikenal dengan Sultah Mantingan, Jepara.
Suatu
hari Ciriguan rindu akan anak angkatnya Sultan Hadirin maka Ciriguan mencari
tau dimana Sultan Hadirin tinggal dan mendapat kabar kalau Sultan Hadirin
tinggal di Jepara sebagai Raja Jepara. Ciriguan pun segera menyusul Sultan
Hadirin di Jepara guna melepas kerinduannya dengan anak angkatnya itu. Ciriguan
merupakan seorang pemahat di Cina dan saat tiba di Jepara dia sering memahat
dan dia mempunyai sebutan Sungging Badarduwong yang artinya pemahat.
Sultan
Hadirin datang ke Kudus guna menuntut ilmu dengan Sunan Kudus. Sunan Kudus
mengetahui jika Sultan Hadirin adalah perantau dan memiliki ilmu yang banyak
atau sakti. Sultan Hadirin dijodohkan dengan purtinya dan menjadi menantu dari
Sunan Kudus. Sunan Kudus menyuruh Sultan Hadirin untuk ikut menyebarkan agama
islam di kota Kudus ini. Sultan Hadirin menyebarkan di desa Loram yang saat itu
masih beragama hindu budha maka Sultan Hadirin membangun masjid di desa Loram
dengan mengajak ayah angkatnya untuk ikut membangun. Ciriguan yang mendesain
gapura dan Sultan Hadirin mendesai bagian atas masjid atau Mustokoh.
Suatu
hari Sunan Kudus bertanya kepada Kyai Telingsing, Sultan Hadirin, dan Ciriguan
untuk memberikan buah tangan apa untuk Kerajaan Mataram yang ingin berkunjung
ke kediaman Sunan Kudus. Ciriguan mengusulkan memberikan kendi yang kosong
tetapi bagian dalam alas kendi telah di pahat kaligrafi arab oleh Ciriguan
dengan kalimat Toyiban, Kyai Telingsing tidak setuju karena dikiranya kendi itu
kendi kosong maka Ciriguan menyuruh Kyai Telinggsing untuk memecah kendi itu
dan Kyai Telingsing kaget jika di dalam kendi itu ada pahatan kaligrafinya.
Tradisi
masyarakat setempat setiap akan punya kerja (hajat) pasti mengadakan manganan
(slametan) terlebih dahulu di lokasi masjid dengan memberikan nasi kepel dan
botok maksud dan tujuan agar hajat yang berlangsung terhindar dari segala bala
dan malapetaka, mendapat rahmat dari Allah SWT. Pernah ada salah satu warga
yang lupa tidak mengadakan tradisi, akibatnya akan ada bala petaka. Ada juga
tradisi masyarakat setempat setiap setelah menikah harus memutari gapura yang
ada di depan masjid yang desebut dengan kirab nganten.
3. Makam Kyai
Telingsing
Lokasi : Jln. Kyai Telingsing Gg. Kh.
Noorhadi
Pendiri : -
Tanggal berdiri : -
Pengelola : Mbah Munawid
Sejarah :
Sejarah
tentang Kyai telingsing tidak banyak di tau oleh juru kunci sebab Kyai
Telingsing berkehidupan sederhana. Ayah Kyai Telingsing berasal dari Arab yaitu
Sunan Sungging dan ibunya berasal dari Cina.
Dari pernikahan itulah lahir The Ling Sing
atau yang oleh masyarakat Kudus lebih dikenal dengan Telingsing. Pada saat
Telingsing menginjak remaja, ayahnya berwasiat. Kalau kamu ingin hidup mulia
dunia akhirat, ikutlah jejakkku berdakwah Islam.
Ayahnya pun menganjurkan agar ia pergi ke
Nusantara, tepatnya di kota Kudus. Pada saat itu, masyarakat Kudus masih banyak
yang beragama Hindu atau Budha. Kebetulan, pada saat berdakwah, Telingsing
bertemu dengan kanjeng Sunan Kudus. Akhirnya, mereka pun berdakwah
bersama-sama.
Suatu ketika, Sunan Kudus hendak menerima
kunjungan dari orang Tiongkok. Oleh Sunan Kudus, Kiai Telingsing diminta
menyunggging (mengukir) sebuah kendi sebagai cinderamata yang akan diberikan
kepada tamunya, namun tidak dilakukan oleh Kiai Telingsing. Sunan Kudus pun
tidak berkenan dan membanting kendi tersebut.
Pada saat kendi tersebut pecah, keanehan
terjadi. Pada pecahan kendi itu, terdapat ukiran dua kalimat syahadat yang
teramat indah. Sungging (ukiran) tersebut pun membuat Sunan Kudus terpesona.
Konon, dari kata Nyunggingan itu pula Desa Sunggingan lahir.
4. Makam Sunan
Kaliyetno
Lokasi : Jln. Suna Kaliyetno, Desa Ternadi
Pendiri : -
Tanggal atau tahun berdiri : -
Pengelola : Bpk. Sukat
Sejarah :
Adapun nama Sunan Kaliyetno, menurut bapak
Sukat Mansur adalah nama yang diambil dari bahasa jawa. Kali itu berarti
Sungai, sedangkan Yet itu berarti Lumut dan no berarti tidak ada. Jadi
Kaliyetno berarti Sungai yang tidak ada lumutnya. “kali ikuw kali, yet ikuw
lumut, lan no maksute odak ono. Dadi kaliyetno ikuw kaline odak ono lumute”
terangnya. Karena menurut keterangan Pak Sukat (panggilan akrab Bapak Sukat
Mansur) yang diperoleh dari sesepuh desa ternadi yang telah gugur, bahwa dulu
ketika Sunan Kalijaga bersemedi menjaga pusaka titipan dari Kandjeng Sunan Bonang
itu tidak ada satupun lumut yang ada di Sungai depan semedinya beliau.
Sunan
Bonang / Makdum Ibrahim, tidak mangilen dumugi alas peteng desa jenu Tuban,
dipun cegat kalian brandal luko wijaya bade begal / ngrampok Sunan Bonang,
lajeng tongkat nipun dipun tunjuk wonten wit jati lajeng dados arupi emas,
saking mriku brandal luko wijaya ngegadahi kepingin ngeguru kalian Sunan
Bonang.
Lajeng
punika salah satunggalipun panggalihipun brandal luko wijaya saget anut apa
ingkang dawuhipun Sunan Bonang. Kecatet wonten sejarah lelampahipun spiritual
tiyang jawi. Lajeng dipun wedal wejang lelampahipun topo / manunggaling ing
kawula Gusti wonten tlatah maniko soko Tuban kurang luwehipun tigang taun (3th)
lajeng nerusake lelampahipun tumindak mangilen ngantos dumigi mengaler kudus
ngelampahi mati sakjeroning urip.
Antawis
topo ngluang wonten ternadi mriki tuparingan Asmo inggih pinika Raden Lokasari
/ Sunan Kaliyetno kurang luwehipun setunggal tahun (1th) langkong – langkong
anggenipun cuwo penggalihipun mandap mangidol lelampah dumugi demak ngantos
dados sesehipun Raden Fatah luweh satunggal ewu gangsal atus ngantos satunggal
ewu gangsal wolulas (±1500 - ±1518) dipun kaparengan Asmo Sunan Kalijaga wonten
tlatah Demak.
T.G.L 07 – 08 – 2011
JK. SUKAT MANSUR
5. Makam Raden
Ayu Nawangsih
Makan Raden Bagus Rinangku
Lokasi : Desa Kandangmas, Masin
Pendiri : Mbah Jamasri
Tanggal atau Tahun berdiri : 1961
Pengelola : Bpk. Suhardi (65th)
Sejarah :
Sepasang
kekasih itu Raden Ayu Nawangsih dan Raden Bagus Rinangku. Raden Ayu Nawangsih
adalah putri dari Sunan Muria dan Raden Bagus Rinangku adalah putra dari Sultan
Agung Mataram (Raja Mataram).
Raden
Bagus Rinangku pada saat itu belajar pada Sunan Muria. Raden Bagus Rinangku
adalah salah seorang dari murid Sunan Muria yang terkenal paling cerdas, cakap
juga tampan rupanya. Sepasang kekasih itu bahkan mereka telah saling berjanji
akan mengarungi hidup bersama meskipun halangan dan rintangan datang
menghadang.
Sunan Muria mengetahui hal ini dan bermaksud
untuk menggagalkan maksud dari dua muda-mudi yang sedang kasmaran ini, karena
Sunan Muria telah berjanji pada seorang muridnya yang bernama Kyai Cebolek
untuk menjodohkan Raden Ayu Nawangsih dengan dirinya. Untuk melaksanakan
rencana ini, Sunan Muria menyiapkan berbagai tugas berat untuk Raden Bagus
Rinangku dengan harapan dia gagal melaksanakan tugas itu dan mengurungkan
niatnya untuk bersatu dengan Raden Ayu Nawangsih karena dia merasa malu kepada
Sunan Muria.
Salah satu rencana dari Sunan Muria adalah
dengan memerintah Raden Bagus Rinangku untuk membasmi geromblan pengacau atau
perusuh yang sering merampok dan merampas harta penduduk, dan bila Raden Bagus
Rinangku maka dialah justru yang menjadi korban keganasan perusuh dan matilah
Raden Bagus Rinangku. Namun perkiraan Sunan Muria meleset karena Raden Bagus
Rinangku berhasil melaksanakan perintah bahkan telah menyadarkan salah seorang
anggota perusuh untuk bertobat. Mengetahui rencananya gagal, Sunan Muria telah
menyiapkan rencana yang lain.
Mengetahui rencananya gagal, Sunan Muria
telah menyiapkan rencana yang lain. Tugas berat kedua yang diperintahkan Sunan
Muria kepada Raden Bagus Rinangku adalah memerintahkan dia untuk menjaga burung
(tunggu manuk) agar tidak memakan padi yang sudah menguning di sawah yang berada
jauh dari Colo atau tepatnya di Dukuh Masin (sekarang Dukuh Masin masuk Desa
Kandang Mas Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus).
Suatu hari Sunan Muria mengecek apakah Raden
Bagus Rinangku telah melaksanakan tugasnya dengan baik, namun ternyata Raden
Bagus Rinangku melalaikan tugasnya dengan membiarkan burung-burung bebas
memakan padi yang sudah menguning dan yang lebih membuat Sunan Muria marah
adalah karena Raden Bagus Rinangku tertangkap basah sedang memadu kasih dengan
Raden Ayu Nawangsih.
Melihat hal ini Sunan Muria marah besar dan
Raden Bagus Rinangku segera memohon maaf kepada Sunan Muria, dan berjanji
sanggup mengembalikan padi-padi yang telah dimakan burung-burung tersebut pada
keadaan semula. Dengan kesaktian dan ijin dari Tuhan, maka kembalilah padi-padi
itu pada keadaan semula.
Sunan Muria semakin marah dengan apa yang
dilakukan Raden Bagus Rinangku, karena telah memamerkan kesaktian yang dimilki
kepada Gurunya. Karena merasa tersaingi, maka Sunan Muria menarik panahnya dan
diarahkan ke Raden Bagus Rinangku dengan maksud untuk menakut-nakutinya, namun
anak panah itu melesat dan menembus perut Raden Bagus Rinangku tembus sampai
punggungnya, dan tewaslah Raden Bagus Rinangku. Melihat kejadian ini, Raden Ayu
Nawangsih menagis meraung-raung dan segera menubruk tubuh Raden Bagus Rinangku
yang tertelungkup di tanah. Anak panah yang menembus punggung Raden Bagus
Rinangku itu menembus pula perut Raden Ayu Nawangsih, dan tewaslah Raden Ayu
Nawangsih di hadapan Ayahnya. Jenazah kedua muda-mudi ini pun dimakamkan diatas
sebuah bukit di mana keduanya memadu kasih.
Kematian
muda-mudi ini amat menggemparkan penduduk sekitar Masin. Para pelayat yang ikut
mengantarkan jenazah kedua muda-mudi ini tertegun berdiri terpaku, keharuan
mencekam mereka yang berduka ketika mendengarkan nasehat Sunan Muria. Setelah
jenazah selesai dikuburkan, para pelayat masih meratapi nasib kedua muda-mudi
itu, dan Sunan Muria berkata “ah bagaikan pohon jati saja engkau semua, berdiri
terpaku tak bergerak dibukit”. Ketika itu pula semua pelayat berubah menjadi
pohon jati.
Konon
kata masyarakat tidak ada yang boleh menebang pohon jati itu sebab akan keluar
darahnnya, tetapi dalam kenyataannya tidak keluar darah tapi memang benar jika
pohon jati itu tidak boleh ditebang sebab mereka dulunya manusia. Pada tahun
1961 pihak muria ingin membuat makam Sunan Muria dipagari menggunakan pohon
jati yang ada di masin. Seseorang meminta pada juru kunci yang ada di sana
tetapi juru kunci tidak berani memutuskan dan orang itu pun akhirnya pulang.
Malam hari ketika orang itu tertidur dan bermimpi. Isi mimpi itu “ jika ingin
memotong pohon jati yang ada di sekitar makam Raden Bagus dan Raden Ayu harus
tatalennya (serbuk kayu saat dipotong) tidak boleh jatuh di tanah.” Maka ke
esokan harinya orang itu tetap memotong jati itu dan ada satu tatalen jatuh di
tanah maka pohon jati itu seketika menjadi tidak bisa dipotong. Bekas potongan
kayu jati itu masih terdapat di sekitar makam dan sekarang semakin ltumbuh
besar hingga saat ini.
6. Gapura
Pandurekasan
Lokasi : Desa Jepang Kec. Mejobo Kudus
Pendiri : Arya Panangsang
Tanggal berdiri : ± 15 Masehi
Pengelola : Aziz
Sejarah :
Masjid
ini dulunya di bangun Arya Panangsang dengan di saksikannya Sunan Kudus pada
saat pembangunannya. Arya Panangsang membangun masjid ini dengan ini siatifnya
sendiri karena Arya Panangsang melihat tempat sekitar yang masih berupa rawa
dan hutan. Arsitektur masjid seperti masjid Agung Demak, tiap penyangga terdiri
dari 4 soko dilandasi dengan umpak Batu. Benda kuno yang masih ada di masjid
yaitu :Mihrab, mimbar untuk khotbah mustoko, sumur tombo/obat bagi masyaratakat
yang sakit. Sumur tersebut tidak pernah asat(kering) walaupun musim kemarau.
7. Masjid
Baitul Azis
Lokasi : Desa Hadiwarno kec. Mejobo
Pendiri :
Tanggal berdiri : abat 16 M atau 863 Hijriah
Pengelola : Pengurus masjid
Sejarah :
Masjid
Baitul Azis dibangun pada abad 16 M zaman wali, terbuat dari batu bata merah
kuno. Di dalam masjid terdapat Gapura Pandurekso, di tengah gapura ada pintu
jati dan bagian atas pintu terdapat lambing naga / motif lambing naga yang
mempunya arti naga adalah trisula naga dalam bahasa sansekerta artinya 863
hijriah dibaca dari belakang. Arsitektur masjid seperti masjid Agung Demak,
tiap penyangga terdiri dari 4 soko dilandasi dengan umpak Batu. Benda kuno yang
masih ada di masjid yaitu :
1.
Mihrab,
mimbar untuk khotbah mustoko, sumur tombo/obat bagi masyaratakat yang sakit.
Sumur tersebut tidak pernah asat(kering) walaupun musim kemarau.
2.
Mimbar untuk
khotbah dibuat dari kayu jati dulunya diberi lilitan bengkung kain putih.
3.
Tembok
samping kakan kiri pengimaman terbuat dari bata merah dengan ornament etnik
yang indah.
4.
Mustoko yang
asli dari tanah liat dan sudah diturunkan, karena kondisi rusak, saat ini benda
yang terpasang adlaah mustoko duplikat namun usianya sudah lebih dari 50 tahun.
5.
Sumur tombo
di Masjid Baitul Azis sering digunakan sebagai tombo (obat) masyarakat yang
mengalami sakit. Pada musim kemarau atau panas sumur ini tidak pernah kering
padahal sumur penduduk disekitar mengalami kekeringan (tidak ada airnya).
Tradisi masyarakat setempat setiap akan punya
kerja (hajat) pasti mengadakan manganan (slametan) terlebih dahulu di lokasi
masjid dengan memberikan nasi kepel dan botok maksud dan tujuan agar hajat yang
berlangsung terhindar dari segala bala dan malapetaka, mendapat rahmat dari
Allah SWT. Pernah ada salah satu warga yang lupa tidak mengadakan tradisi,
akibatnya ada yang kesurupan. Akhirnya dimintakan maaf dan diberi minum air
sumur tombo bisa sadar kembali.
8. Kyai Dudo /
Joko Samudra
Lokasi : Desa sumber
Pendiri : Kyai Dudo / Joko Samudra ( ahli
nujum Syeh Subakri ) yang Berasal dari Arab
Tanggal atau Tahun berdiri : Zaman Sunan
Muria
Pengelola : Ibu Darsih
Sejarah :
Zaman
dulu desa sumber adalah hutan belantara. Kyai Dudo membangun langgar bersama
dua muritnya yang bernama umoro dan umari. Kyai Dudo beserta kedua muritnya
hidup sebagai petani.
Pada
suatu hari pada saart bulan romadhon Kyai Dudo menyuruh para santrinya menanam
padi saat selesai sholat tarawih karena pada saat siang hari panas Kyai Dudo
takut jika murit –muritnya akan membatalkan puasanyya maka dari itu disuruhnya
pada malam hari. Malam setelah sholat tarawih para muritnya langsung
berhamburan pergi ke sawah untuk menanam padi, ketika itu juga Sunan Muria
datang berkunjung ke diaman Kyai Dudo. Sunana Muria mendengar para murit yang
sedang memvbersihkan pada yang suaranya terdengar seperti bulus.
Sunan Kudus berkata “sedang apa orang – orang
itu kenapa malam – malam seperti ini berisik seperti suara bulus saja” maka saat itu juga yang
membersihkan padi tadi langsung menjadi bulus.
Kyai Duda memberanikan diri
menanyakan nasibnya beserta para santri setelah Sunan Muria bermaksud
meninggalkan mereka. Mendengar hal itu, Sunan kembali mengajak Mbah Duda
melanjutkan perjalanan ke utara. Di tengah perjalanan, dia mengambil sebatang
kayu adem ati (menyerupai batang pohon kluwak) dan menancapkannya di suatu
tempat. Ketika batang kayu tersebut dicabut, keluarlah mata air yang kemudian
dipercaya menjadi asal sungai Sumber.
Setelah itu, Sunan kembali
bersabda dan memerintahkan kyai Duda beserta para santrinya untuk menjaga
daerah tersebut dan menjanjikan bahwa akan ada orang yang memberi makan pada
mereka, khususnya saat syawalan.
Di tempat ditancapkannya kayu
adem ati yang oleh Sunan Muria yang kemudian dijaga oleh Mbah Duda dan para
santrinya - yang berwujud bulus tersebut - tradisi bulusan dilaksanakan sampai
hari ini.
Tradisi masyarakat setempat setiap akan punya
kerja (hajat) pasti memberikan manganan kepada para bulus yang masih ada
terlebih dahulu dengan memberikan nasi dan botok maksud dan tujuan agar hajat
yang berlangsung terhindar dari segala bala dan malapetaka, mendapat rahmat
dari Allah SWT. Pernah ada salah satu warga yang lupa tidak mengadakan tradisi,
akibatnya ada yang sakit. Akhirnya dimintakan maaf dan memberika makan untuk
bulus – bulus itu dan kembali sembuh seperti semula. Jika pada tanggal 8 sawal
di desa sumber di adakan sewu kupat dan lepet guna memberika atau memperingati
bulus – bulus itu.
9. Situs
Purbakala Pati Ayam
Lokasi :
Pendiri : Bpk. Rakijan Mustofa
Tanggal atau Tahun berdiri : 2005
Pengelola : alm. Bpk. Rakijan Mustofa dan
sekarang pengelola ada 7 orang
Sejarah :
Pada
tahun 2005 warga menemukan bulung puto ( tulang yang sudah membatu ) didaerah
bukit sumbit. Bpk. Rakijan Mustofa lah yang mengatakan pada warga bahwa itu
adalah fosil makhluk purbakala. Fosil itu adalah fosil sejenis gajah.
Bpk.
Rakijan Mustofa mulai mengabari pihak arkeolok jogja dan mereka yang mengetahhui
segera melakukan penelitian. Sampai sekarang dan setiap tahunnya selalu di
temukan fosil – fosil purbakala.
Ada
salah satu penemu yang menemukan gigi hiu dan kerang – kerang yang ukurannya
dua kali lebih besar dari yang kita ketahui saat ini. Karena fosil – fosil itu
ditemukan di bukit sumbit dan berada di daeraj jekulo, pati maka diberi nama
lah situs bukit pati ayam.
10. Masjid
Madureksan
Lokasi :
Pendiri :
Tanggal atau Tahun berdiri : 1520 Masehi
Pengelola :
Sejarah :
Masuknya agama islam di tanah jawa hingga
kini masih masih menjadi pertanyaan yang terus bergulir. Kita hanya tau dari
sejarah bahwa agama islam masuk ke indonesi melalu para pedagang dan ahli sufi
dari Gujarat, India sebelah barat. Dari sejarah pula kita tahu bahwa tahun 1416
di pulau jawa sudah banyak orang islam, namun mereka itu merupakan pendatang
dari manca Negara.
Dalam perkembangan pendiri masjid sebagai
rumah peribadatan umat islam di Jawa Tenagh, khususnya di kabupaten kudus jelas
berdasarkan inskripsi tertuliskan huruf arab terdapat diatas mihrab masjid
Sunan Kudus yang di kenal dengan sebutan Masjid Al-Aqsha ( masjid menara )
yakni tahun 956 Hijriyah atau bertepatan dengan 1549 Masehi. Sementara masjid
lain yang letaknya bersebrangan dengan Al – Aqsa yakni Masjid Madureksan
diketahui berdiri tahun 1520 Masehi.
Menara Kudus sendiri berdiri di sebelah
selatan Masjid Al – Aqsha berdasarkan candrasengkala yang ada di tempat itu
berbunyi Gapura Rusak Ewahing Jagat (1609). Menurut penafsiran Prof. Dr.
Soetjipto Wirjosuparto dalam buku kerya Solichin Salam “Kudus Purbakala” menara
itu didiran pada 1685 Masehi. Dengan demikian ketiga bangunan dalam satu
komplek yang usainya paling tua yakni Masjid Madureksan yang lokasinya berada
di sebelah utara perpustakaan milik Pemkab Kudus.
Siasat Perang
Menurut
Baedlowi, salah seorang imam di Masjid Madureksan. Masjid ini usianya lebih tua
disbanding Masjid Menara. Ada tokoh lain yang mewarnai keberadaan Masjid
Madureksan saat itu kiai Tee Ling Sing. Usaha Cina yang turut berjuang menyebarkan
Islam di Kudus ini menurut Baedlowi, selain untuk berdakwa, juga memanfaatkan
Masjid Madureksan untuk mengatur siasat perang.
Hal
senada juga diungkapkan sejarawan asal Kudus. Tee Song Liang alias Toedjo
Suljanto (77). Menurut fotografer senior yang mengaku masih memiliki garis
keturunan ke 18 kiai Tee Ling Sing ini, di Masjid Madureksan ini pula sering
dijadikan ajang untuk debat mendiskusikan persoalan yang menyangkut soal agama
maupun siasat perang.
Suatu
saat, lanjut Om Te (panggilan akrab Tee Song Liang) dalam diskusi
tersebutpernah terjadi silang pendapat antara sesame rekan Kiai Tee Ling Sing.
Ditengah arena adu argument yang cenderung memanas itu Kiai Tee Ling Sing
sering menjadi tokoh penengahnya. “Yen kowe pada padu, kowe ugo bisa ngrekso”
(bila kamu saling silang pendapat, kamu juga harus bisa mengendalikan diri).
Itulah sepenggal ucapan Kiai Tee Ling Sing kemudian diabadikan menjadi mana
Masjid Madureksan.
Nama
Kiai Tee Ling Sing sendiri lebih dikenal sebagai da’I, beliau juga memiliki
kepandaian yang dibawa dari cina yakni memahat aliran Sun Ging. Dari
kepiawaiannya ini pula setelah ia wafat daerah sekitar tempat pemakamannya
hingga sekarang diberi nama Desa Sunggingan.
No comments:
Post a Comment